Anime, Blog

Katsuhiro Otomo’s Short Peace

Tahun lalu pernah bahas soal kumpulan short movies karya Katsuhiro Otomo yang dikasih judul MEMORIES, terdiri dari 3 film pendek yang “kebetulan” sekali mengandung unsur-unsur yang populer saat itu. (baca aja di sini). Dan sekedar pengingat, movie pertama yaitu Kanojo no Omoide (atau judul eigo-nya Magnetic Rose), in my opinion, highly recommended.

Nah, yang kali ini, masih sama. Masih Katsuhiro Otomo juga yang bikin, sebuah proyek yang diberi judul “Short Peace” (ショート・ピース) .

Proyek ini merupakan kerja sama antara Sunrise dengan Shochiku yang memproduksi filmnya dan Crispy’s! dengan Grasshopper Manufacture untuk versi game-nya. Film mulai ditayangkan di Jepang pada tanggal 20 Juli 2013 dan berisikan 4 film pendek (short movie). Sementara gamenya dirilis untuk platform Sony Playstation 3 dan mulai dijual pada bulan Januari 2014 di Jepang. Tapi di sini yang akan dibahas cuma yang anime-nya aja.

Short Peace Trailer

Film Short Peace ini dibuka dengan adegan anak perempuan sedang bermain petak umpet dengan temannya (yang tidak diperlihatkan, hanya ada suaranya saja). Saat si anak membuka matanya untuk mulai mencari temannya, dia melihat sebuah bangunan yang aneh dan ada seekor kelinci putih di dalamnya. Si anak mengejar kelinci tersebut dan masuk ke dalam dunia fantasi. Di dalam dunia fantasi inilah kemudian 4 movie pendek tadi dimulai (rata-rata berdurasi sekitar 15-20 menit).

九十九 (Tsukumo, Eng: Possession)

Tsukumo

Cerita

Mengambil latar belakang Jepang di kisaran abad ke-18, di mana suatu hari, seorang pengembara terjebak dalam badai di tengah hutan, ketika tiba-tiba angin kencang meniup topinya dan dia melihat sebuah altar/kuil kecil di antara pepohonan. Karena cuaca yang semakin buruk, diapun memutuskan untuk berteduh di kuil itu. Sambil menunggu badai mereda, si pengembara tertidur dan sangat terkejut ketika dia terbangun dan berada di sebuah ruangan yang berisikan payung-payung kertas yang rusak dan bisa bergerak (plus ada banyak mata di balik payung-payung itu). Salah satu “payung kertas” itu ada yang bentuknya menyerupai seekor katak dan menari-nari di hadapan si pengembara.

Pengembara yang melihat payung-payung kertas rusak itu, kemudian segera membuka kotak yang dibawanya. Kotak tersebut ternyata berisikan alat-alat yang bisa dia gunakan untuk memperbaiki semua payung rusak yang ada di ruangan itu. Setelah selesai memperbaiki semua, termasuk payung yang dibawa oleh si katak, tiba-tiba semuanya menghilang dan ruangan tersebut menjadi kosong.

Pengembara itu kemudian mencoba membuka pintu ruangan dan ternyata ada ruangan lain lagi dengan ornamen lukisan perempuan mengenakan kimono. Di ruangan ini si pengembara tiba-tiba dikelilingi oleh kain-kain yang mengatakan bahwa mereka dibuang. Pengembara itupun kemudian memperbaiki kain-kain tersebut (obi?) dan setelah selesai memperbaiki semua kain yang ada, diapun mencoba membuka pintu yang berikutnya.

Di balik pintu itu ternyata ada timbunan barang-barang bekas yang kemudian berkumpul membentuk sebuah mahluk yang mengeluarkan bau busuk. Si pengembara menyadari bahwa timbunan barang-barang itu adalah alat yang pernah dipakai manusia sebelum dibuang. Diapun lalu menutup matanya kemudian berdoa untuk memberikan penghormatan dan menyatakan rasa terima kasihnya kepada semua Tsukumogami yang merasuki barang-barang itu atas “jasanya” dalam membantu kehidupan manusia.

Mahluk itu kemudian tampak seperti akan menyerang si pengembara, namun dia tidak merasakan apa-apa saat mahluk itu melewati dirinya. Saat dia membuka mata, tiba-tiba dirinya sudah berada kembali di kuil kecil tempat dia berteduh, badai sudah mereda. Ketika dia membuka pintu kuil, dia menemukan capingnya yang dia kira hilang tertiup angin, payung si katak, dan kain yang sudah dia perbaiki ada di situ. Dia pun kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa benda-benda tersebut.

Behind the Scene

Film berdurasi 14 menit ini disutradarai oleh Morita Shuuhei dan menjadi nominasi Academy Awards for Best Animated Short Film pada 86th Academy Awards tahun 2013. Morita Shuuhei sendiri kemudian dikenal juga sebagai sutradara dari serial anime Tokyo Ghoul (2014) dan Tokyo Ghoul √A (2015)

火要鎮 (Hi no Youjin, Eng: Combustible)

Hi no Youjin

Cerita

Film ini mengambil era Edo (1603 – 1867) sebagai latar belakang cerita di mana ada seorang anak perempuan bernama Owaka dari sebuah keluarga terpandang harus menjalani pernikahan dengan seorang pria yang dijodohkan oleh orang tuanya. Owaka sendiri sendiri sebenarnya menyukai Matsukichi, yang merupakan tetangga sekaligus teman masa kecilnya.

Memasuki usia dewasa, Matsukichi sering bermasalah dengan orang tuanya karena selalu memberontak sampai akhirnya dia diusir oleh orang tuanya. Setelah diusir, Matsukichi kemudian pergi dari rumahnya dan jarang bertemu dengan Owaka lagi.

Beberapa hari menjelang pernikahannya, Owaka yang sedang berada sendirian di kamarnya, secara tidak sengaja mengakibatkan kebakaran. Matsukichi yang menjadi anggota pemadam kebakaran segera menuju tempat kejadian dan berusaha menolong Owaka. Dia melihat Owaka berada di atas atap sambil membawa kimono yang akan dipakai di acara pernikahannya. Matsukichi berusaha memperingatkan Owaka untuk tidak memanjat menara, tetapi Owaka yang tidak mendengar suara Matsukichi akhirnya terkena kobaran api yang menghancurkan menara itu.

Behind the Scene

Untuk movie yang ini, Katsuhiro Otomo sendiri yang menjadi sutradara dan berhasil menjadi pemenang Grand Prize pada Japan Media Arts Festival ke-16 dan Oofuji Noburou Award di ajang Mainichi Film Awards.

Meskipun durasinya hanya sekitar 12 menit, tapi Katsuhiro Otomo bisa menampilkan kisah Owaka dan Matsukichi yang akrab sejak kecil dan sering bermain bersama. Kemudian Matsukichi yang memberontak kepada orang tuanya saat menginjak usia remaja, yang berakibat dia diusir dari rumah oleh ayahnya. Sementara Owaka sendiri sebagai anak gadis di masa itu, merasa pasrah kepada nasibnya yang harus mengikuti kemauan orang tua dan menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Ketika sudah dewasa, mereka bisa bertemu lagi meskipun pertemuan mereka berakhir dengan tragis.

Gambo

Gambo

Cerita

Gambo adalah sebutan untuk seekor beruang putih yang tampaknya berperan sebagai pelindung manusia. Suatu ketika tampak seperti ada benda asing yang jatuh dari langit, dan muncul sosok raksasa berwarna merah yang mirip dengan oni (mahluk seperti ogre dalam cerita rakyat Jepang)

Di sebuah desa, penduduknya ketakutan karena mereka menemukan oni tersebut dalam keadaan luka. Kepala desa mengira apabila mereka merawat oni itu, maka dia tidak akan menyerang desa mereka. Ternyata mahluk tersebut membunuh siapa saja yang ada di dekatnya dan menculik gadis-gadis di desa itu. Kepala desa kemudian meminta tolong kepada seorang samurai untuk mengalahkan oni tersebut sebelum dia membunuh anak perempuan terakhir di desa itu yang telah melarikan diri ke hutan.

Gambo yang bertemu dengan anak perempuan itu di hutan kemudian pergi mencari oni tersebut dan menemukan ‘sarang’-nya. Di tempat itu, Gambo menemukan seorang perempuan yang sedang (dipaksa) hamil dan perutnya berisi bayi oni. Perempuan itu meminta Gambo untuk membunuh dirinya sebelum oni yang ada dalam kandungannya lahir. Gambo kemudian membunuhnya dan menghancurkan tempat tersebut.

Oni yang mengamuk kembali ke situ dan bertarung dengan Gambo. Gambo terluka parah karena oni tersebut lebih kuat dari dirinya. Sementara itu rombongan samurai datang dan mencoba membunuh oni tetapi dengan mudah satu per satu mereka dikalahkan. Saat oni itu sedang bertarung melawan para samurai, Gambo dengan sisa kekuatannya kemudian mencengkeram oni tersebut dan berhasil membunuhnya. Setelah berhasil membunuhnya, Gambo sendiri kemudian mati karena lukanya yang parah.

Pemimpin para samurai kemudian menghampiri anak perempuan kepala desa yang menangis di samping Gambo dan menanyakan kepadanya mengenai Gambo. Anak perempuan itu mengatakan bahwa Gambo bisa mengalahkan oni itu karena dirinya percaya pada Gambo.

Behind the Scene

Film ketiga berdurasi sekitar 12 menit ini disutradarai oleh Andou Hiroaki yang nantinya terlibat sebagai sutradara untuk judul-judul anime seperti Ajin, Sidonia no Kishi, Listeners, Ooyukiumi no Kaina, dan masih banyak lagi.

Untuk film ketiga ini sepertinya Katsuhiro Otomo ingin menggabungkan mahluk supranatural dan alien. Gambo digambarkan sebagai roh suci pelindung manusia, sementara oni merupakan kebalikannya. Tetapi ketika Gambo menemukan tempat persembunyian oni, kesannya seperti menyerupai “pesawat luar angkasa” milik alien yang digunakan untuk reproduksi dengan menggunakan manusia (seorang perempuan) sebagai inangnya.

武器よさらば (Buki yo Saraba, Eng: Farewell to Weapons)

Buki yo Saraba

Cerita

Di masa depan, sebagian besar bumi sudah hancur setelah Perang Dunia III. Sekelompok pasukan khusus bertugas untuk mencari dan menjinakkan senjata-senjata yang pernah digunakan tetapi masih berfungsi. Suatu hari mereka bertemu dengan sejenis robot-tank yang mempunyai kecerdasan buatan (AI) dan menyerang mereka karena menganggap mereka sebagai musuh.

Satu per satu anggota tim mereka terbunuh, dan salah satu anggota mereka melepas baju pelindungnya karena terjadi kerusakan. Karena dia melepas baju pelindung (yang digunakan oleh prajurit/personil militer), AI tank mengenalinya sebagai orang sipil dan bukan ancaman, oleh karena itu dia tidak dibunuh karena program AI tersebut adalah untuk melindungi warga sipil dan hanya menyerang personil militer.

Behind the Scene

Film ke-4 menjadi yang terpanjang durasinya yaitu sekitar 25 menit. Disutradarai oleh Hajime Katoki, orang yang terkenal sebagai mechanical designer berbagai seri Gundam.

Closing Time

Bukan, ini bukan judul film, cuma mau ngasih komentar soal keempat film di atas. Film-film tersebut masing-masing mewakili Jepang di era yang berbeda, mulai dari abad ke-16 (Gambo) sampai ke masa depan. Semua menampilkan visualisasi dan animasi yang bagus, sekaligus penceritaan yang singkat tapi padat. Tapi meskipun durasinya ‘cuma’ sekitar 12 menitan, effort yang dicurahkan terlihat tidak main-main dan melihat hasilnya, jelas butuh waktu yang tidak singkat untuk menghasilkan film singkat seperti ini.

Film pertama, Tsukumo, ceritanya cukup sederhana dan jelas. Visualisasinya bagus, latar belakang dengan tokohnya terlihat kontras. Pesan yang ingin disampaikan juga bisa ditangkap dengan mudah.

Di Jepang ada kepercayaan bahwa ada roh yang bisa yang bisa merasuk ke benda/alat/perkakas buatan manusia, yang dikenal dengan sebutan Tsukumogami, jadi bisa dikatakan bahwa benda-benda tersebut mempunyai ‘nyawa’ atau ‘hidup’. Di anime ini sepertinya yang ingin disampaikan adalah kehidupan kita terbantu oleh benda/alat di sekitar kita, tetapi seringkali kita lupa untuk menunjukkan apresiasi atau rasa terima kasih dan dengan mudahnya membuang mereka. ‘Pesan’ yang sama bisa terjadi juga dalam hubungan antar manusia, di mana kadang manusia lupa untuk mengapresiasi atau berterima kasih atas bantuan yang diberikan oleh orang di sekitar kita.

Btw, udah coba masukin tulisan Jepangnya judul Tsukumo ke translator, munculnya 99 (kyu-jyu-kyu). Mungkin yang lebih paham bahasa Jepang yang lebih tau ya.

Film kedua dipegang sendiri oleh Katsuhiro Otomo. Beliau bisa menggunakan waktu 12 menit untuk menceritakan kehidupan Owaka dan Matsukichi dari kecil sampai dewasa beserta problematika kehidupan yang mereka alami. Visualisasi masa kecil digambarkan dengan animasi sederhana yang merepresentasikan bahwa saat masih kecil, semua terlihat sederhana dan mudah. Menjelang dewasa gaya animasinya berubah menandakan bahwa kehidupan mereka mulai berubah.

Menariknya adalah film ini sepertinya merupakan interpretasi bebas beliau terhadap kejadian bersejarah di Jepang yang disebut sebagai 明暦の大火 (Furisode Fire atau The Great Fire of Meireiki) yang terjadi tanggal 2 Maret 1657. Menurut legenda, seorang biksu/pendeta sedang melakukan ritual membakar kimono yang dikatakan terkutuk karena telah mencelakai 3 orang gadis sebelumnya. Kobaran api yang ditimbulkan menyambar material bangunan kuil yang terbuat dari kayu sehingga terjadilah kebakaran hebat yang menghanguskan kota Edo dan diperkirakan menewaskan lebih dari 100.000 jiwa.

Gambo (film ke-3) buat gue ya paling nyeleneh, campuran antara pertarungan roh baik vs jahat, ‘alien’ spaceship(?) dan manusia yang mulai melupakan hal-hal seperti kepercayaan atas adanya roh pelindung dan hal-hal supranatural lainnya seiring dengan kemajuan jaman.

Dasar film ini adalah bahwa kemajuan jaman (pada saat itu dan seterusnya) mulai menggerus kepercayaan manusia terhadap roh suci pelindung manusia (dalam hal ini Gambo) sehingga kekuatan Gambo melemah dan dia mengalami kesulitan melawan roh jahat (oni). Pada akhirnya satu-satunya sumber kekuatan Gambo adalah rasa percaya anak perempuan itu kepada dirinya.

Detail lain yang ada di Gambo ini adalah, samurai yang menjadi salah satu tokoh di film ini digambarkan sebagai penganut agama Kristen (tampak dari kalung berbentuk salib yang dikenakannya). Hal ini sepertinya merujuk ke pengaruh keyakinan baru yang masuk ke budaya Jepang dan konsep kepercayaan kepada mahluk ataupun roh pelindung semakin tergeser sehingga semakin memperlemah Gambo yang akhirnya tewas dan pada akhirnya mungkin akan terlupakan.

Film terakhir, Buki to Saraba, terjadi di masa depan. Dari 4 movie, Buki to Saraba ini mempunyai durasi yang paling panjang, sekitar 25 menit, dan diisi dengan adegan pertempuran manusia vs mesin yang seru. Ceritanya sendiri sebenernya agak ironis, AI tank yang ingin mereka hentikan itu ternyata tidak menyerang sembarang orang. Program yang ditanamkan ke AI tank itu membuatnya tidak akan menyerang orang yang tidak mengenakan atribut militer (bahkan dog tag milik prajurit menjadi salah satu target). Pada akhirnya ya yang namanya mesin, dia cuma bisa ambil keputusan secara hitam dan putih. Pake atribut militer = musuh = bunuh, tanpa atribut militer = bukan musuh = lindungi, padahal ya orangnya itu-itu juga. Secara cerita ya biasa aja sih, endingnya memang ngegantung, tapi action scene-nya bener-bener seru.

Dari ke-4 film ini, Tsukumo masuk nominasi Academy Awards (Oscar), Hi no Youjin menang 2 penghargaan dari event yang berbeda, dan secara keseluruhan (sebagai Short Peace, bukan per film) juga mendapatkan Platinum Grand Prize di Future Film Festival Italia tahun 2014. That’s saying something.

Dan tolong, nggak usah lah ya ngomongin ghibli-ghibli-an. Ghibli itu bagus, tapi nggak semua anime harus di-benchmark pake Ghibli, karena banyak juga anime non-Ghibli yang bagus. Dan seneng anime buatan Ghibli tidak otomatis membuat seseorang itu berselera tinggi atau lebih terhormat dari penggemar anime yang lain. Just saying.

[OFFICIAL] Short Peace Website

Standard